LBH AMPUH INDONESIA Soroti Lalainya Kontraktor di Bekasi: Nyawa 3 Anak Bukan Harga yang Bisa Ditebus Santunan, Perdamaian Bukan Alasan Menghapus Kelalaian Hukum Kontraktor - AR NEWS

Jumat, 07 November 2025

LBH AMPUH INDONESIA Soroti Lalainya Kontraktor di Bekasi: Nyawa 3 Anak Bukan Harga yang Bisa Ditebus Santunan, Perdamaian Bukan Alasan Menghapus Kelalaian Hukum Kontraktor

 


BEKASI — Dunia konstruksi kembali diguncang oleh tragedi kemanusiaan. Tiga anak dilaporkan menjadi korban jiwa akibat kelalaian pengamanan di lokasi proyek konstruksi di wilayah Setu, Bekasi. Peristiwa ini membuka luka lama tentang lemahnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di lapangan, yang sejatinya telah diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3.


Dalam perspektif hukum, kontraktor tidak hanya bertanggung jawab terhadap keselamatan pekerja, tetapi juga masyarakat sekitar proyek. Kegagalan dalam memasang pagar pengaman, rambu peringatan, atau tanda larangan masuk merupakan bentuk kelalaian yang nyata. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, setiap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian wajib dipertanggungjawabkan, dan tanggung jawab hukum tidak dapat dihapus hanya karena adanya perdamaian sosial atau santunan kemanusiaan.


Joni Sudarso, S.H., M.H., CPLA, Direktur LBH Aliansi Masyarakat Penegak Supremasi Hukum (AMPUH) Indonesia, menegaskan, “Kecelakaan yang menewaskan tiga anak bukanlah musibah alam, melainkan akibat kelalaian yang bisa dicegah. Kontraktor seharusnya proaktif dalam menerapkan SMK3, bukan menunggu tragedi terjadi baru bereaksi. Ini soal tanggung jawab moral dan hukum.” Menurutnya, hukum tidak bisa dikesampingkan hanya karena ada perdamaian, sebab kelalaian teknis tetap merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.


Joni Sudarso, S.H., M.H., CPLA, Direktur LBH AMPUH INDONESIA. 

Lebih lanjut, Joni menyoroti bahwa perdamaian memang dapat menghapus tuntutan perdata, tetapi tidak serta-merta meniadakan tanggung jawab pidana. “Perdamaian bukan penghapus dosa hukum. Kalau unsur kelalaian sudah terbukti dan ada nyawa yang hilang, maka hukum pidana harus tetap berjalan. Inilah bentuk keadilan substantif yang seharusnya ditegakkan,” ujarnya dengan tegas. Pandangannya selaras dengan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, yang memberikan sanksi pidana bagi siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati atau luka berat.


Pasca insiden tersebut, publik mempertanyakan mengapa tidak ada langkah cepat dari pihak kontraktor untuk memperbaiki sistem keselamatan di lapangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juncto PP No. 50 Tahun 2012, setiap perusahaan wajib segera melakukan evaluasi dan tindakan korektif pasca kecelakaan kerja. “Jika satu hari setelah kejadian tidak ada tindakan perbaikan, maka kontraktor bisa dianggap tidak melaksanakan SMK3. Itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah bentuk pembiaran yang berbahaya,” jelas Joni kepada awak media, Kamis (6/11/2025).


Lebih mengejutkan lagi, muncul dugaan bahwa sertifikat SMK3 yang dimiliki oleh kontraktor diperoleh melalui praktik jual beli, bukan hasil penerapan sistem yang nyata di lapangan. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjerat pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan menjadi bukti bahwa jual beli sertifikat keselamatan bukan isapan jempol. “Kalau benar sertifikat SMK3 itu dibeli, bukan diterapkan, maka itu penipuan terhadap hukum dan masyarakat. Itu artinya nyawa manusia dipertaruhkan demi administrasi palsu,” ungkap Joni.

Ia menegaskan kembali bahwa sertifikat tanpa implementasi adalah kejahatan moral yang tidak kalah berat dari kelalaian teknis. “Sertifikat itu seharusnya menjadi jaminan bahwa proyek berjalan aman. Tapi kalau hanya jadi formalitas di atas kertas, sama saja menipu publik. Pemerintah dan aparat hukum harus memeriksa keaslian dan penerapan SMK3 di setiap proyek besar, apalagi yang berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN),” tambahnya.

Dari perspektif perlindungan anak, tragedi ini juga menyinggung Pasal 59 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan negara dan pelaku usaha memberikan perlindungan khusus terhadap anak dari bahaya lingkungan kerja. “Ketika anak-anak bisa bebas masuk ke area proyek tanpa pengamanan, berarti sistem perlindungan gagal total. Itu bukan hanya kesalahan teknis, tapi kelalaian struktural yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegas Joni.

Dalam konteks hukum publik, diskresi kepolisian dapat digunakan untuk membuka kembali perkara yang berdampak luas terhadap kepentingan masyarakat. Berdasarkan Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, penyidik berwenang mengambil langkah demi melindungi kepentingan umum dan rasa keadilan, meski perkara telah dimediasi. “Polisi punya kewenangan moral dan hukum untuk tidak berhenti pada perdamaian semu. Kalau ada korban jiwa dan kelalaian sistemik, perkara harus dilanjutkan demi keadilan publik,” kata Joni dengan nada tegas.

Ia menambahkan bahwa hukum harus berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepentingan bisnis atau proyek. “Nyawa tidak bisa dibeli, dan hukum tidak boleh ditawar. Jika kontraktor abai, pemerintah lalai, dan penegak hukum diam, maka hukum kehilangan makna keadilannya. LBH AMPUH Indonesia akan terus mendorong penegakan hukum sampai tuntas,” tandasnya.

Selain aspek penegakan hukum, Joni juga menyerukan agar pemerintah memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan SMK3 di seluruh proyek strategis. “Setiap pelaksana konstruksi wajib memiliki tim pengawasan internal dan laporan audit keselamatan yang transparan. Jangan menunggu korban berikutnya baru ada tindakan. Hukum harus hidup sebelum tragedi, bukan sesudahnya,” ujarnya penuh visi.

Sebagai penutup, tragedi ini menjadi cermin buram dunia konstruksi Indonesia yang masih menganggap keselamatan sebagai formalitas, bukan kebutuhan fundamental. Penerapan SMK3 harus menjadi budaya kerja yang melekat, bukan sekadar syarat tender. “Kita perlu membangun kesadaran bahwa hukum dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan. Kalau kontraktor gagal melindungi nyawa, maka negara wajib hadir untuk menegakkan keadilan,” pungkas Joni Sudarso, S.H., M.H.,CPLA


(Red/AR)

Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done